Rabu, 16 Desember 2015

tokoh-tokoh filsafat di indonesia



Tokoh-Tokoh Filsafat di Indonesia

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.
  Filsafat Indonesia adalah fenomena yang mulai marak di era 1960-an.
1. M. Nasroen                                                          
Seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia. Puncak kariernya ialah ketika ia menjabat sebagai Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia. Karyanya ialah Falsafah Indonesia, yang di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dikategorikan sebagai ‘buku langka’ dengan Nomor Panggil (Shelf Number) 181.16 NAS f. Dalam karyanya itu, Nasroen menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.
Beberapa kutipan karya M. Nasroen : 
Sebagai hasil dari falsafah itu dalam alam kenyataan, adalah kebudayaan. Dalam alam kenyataan terdapat bermatjam-matjam kebudayaan dan tiap-tiap kebudayaan ini tentu mempunyai atau berdasarkan falsafah sendiri-sendiri pula. (M.Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
Pantja Sila ini adalah pantjaran dari Pandangan Hidup Indonesia dan pasti mengandung unsur-unsur dari Pandangan Hidup Indonesia itu didalamnja. (M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
Saja jakin, bahwa sebelum bangsa Indonesia memeluk agama, Tuhan telah mengilhami nenek mojang Indonesia membatja, jaitu mengemukakan ketentuan-ketentuan jang terdapat pada alam itu. Nenek mojang Indonesia dengan ketentuan-ketentuan itu mentjiptakan adat itu dan adat itulah jang mengandung falsafah Indonesia asli didalamnja. (M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
Untuk mengetahui dan menjelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menjelidiki adat dan pantun Indonesia. (M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967)
2. Soenoto
Merupakan pengkaji Filsafat Indonesia generasi kedua di era 1980-an.
Pendidikan kefilsafatan diperoleh dari UGM Yogyakarta (Sarjana dan Magister Ilmu Sosial dan Politik), lalu Vrije Universiteit Amsterdam (Doktor Ilmu Sosial dan Politik). Jabatan yang pernah dipegang ialah Dosen Tetap UGM (sejak 1958), Dekan Fakultas Filsafat UGM (1967-1979), Peneliti Filsafat Pancasila di Dephankam, Ketua Survei Pengamalan Pancasila di UGM dan Depdagri RI. Karya-karyanya ialah: Selayang Pandang tentang Filsafat Indonesia, Pemikiran tentang Kefilsafatan, dan Menuju Filsafat Indonesia: Negara-Negara di Jawa sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Dalam ketiga karyanya itu Sunoto menyempurnakan karya rintisan Nasroen dengan menelusuri tradisi kefilsafatan Jawa dan memberikan penjabaran yang amat detail tentang tradisi itu
3. R. Parmono
Lahir pada tahun 1952, R. Parmono menempuh kefilsafatan di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Sarjana Filsafat), 1976 di Program Pasca-Sarjana Jurusan Filsafat Indonesia di UGM pula. Sebagai Dosen Filsafat di UGM, bahkan pernah menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) pada Jurusan Filsafat Indonesia yang dirintisnya bersama-sama dengan Soenoto. Selain mengajar di UGM, beliau juga salah seorang anggota Peneliti Filsafat Pancasila (1975-1979) di Dephankam. Karya-karyanya yang membahas Filsafat Indonesia ialah: Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia ,Penelitian Pustaka: Beberapa Cabang Filsafat di dalam Serat Wedhatama (1982/1983), dan Penelitian Pustaka: Gambaran Manusia Seutuhnya di dalam Serat Wedhatama (1983/1984). Dalam bukunya Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, R. Parmono menyempurnakan kekurangan kajian Sunoto yang mengkaji sebatas tradisi kefilsafatan Jawa dengan melebarkan lingkup kajian pada tradisi filsafat Batak, Minang, dan Bugis. Dalam buku itu pula Parmono mencoba mendefinisi-ulang istilah ‘Filsafat Indonesia’, sebagai ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ . Jadi, Filsafat Indonesia berarti segala filsafat yang ditemukan dalam adat dan budaya etnik Indonesia. Definisi ini juga dianut oleh pelopor yang lain, Jakob Sumardjo.
  Kutipan-kutipan:
Bagi bangsa Indonesia pandangan hidup itu dapat dipelajari dari khazanah adat, istiadat, kebiasaan-kebiasaan di dalam pelbagai kebudayaan daerah.
(R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985)
Hasil real dari pemikiran filsafat itu adalah kebudayaan. Oleh karena itu usaha untuk mempelajari filsafat Indonesia dapat ditempuh melalui kebudayaan daerah.
(R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985)
4. Jakob Sumarjo
Nama aslinya Jakobus Soemardjo, dilahirkan di Klaten pada tahun 1939. Karier kefilsafatannya dimulai ketika ia menulis kolom di harian KOMPAS, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Suara Pembaruan dan majalah Prisma, Basis, dan Horison sejak tahun 1969. Sejak tahun 1962 mengajar di Fakultas Seni Rupa Desain di Institut Teknologi Bandung (ITB) Bandung dalam mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah Teater, daan Sosiologi Seni. Buku-bukunya yang khusus membahas Filsafat Indonesia ialah: Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Budaya Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002, ISBN 979-9440-29-7), dan Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan (Yogyakarta: AK Group, 2003).
  Dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, Jakob membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia.
   
Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia, Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’.
Definisinya tentang Filsafat Indonesia sama dengan pendahulu-pendahulunya, yakni, ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, artinya ‘…filsafat [yang] terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…’ (Mencari Sukma Indonesia, hal. 116).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar