Filsafat Kontemporer
A.
Pengertian
“kontemporer” sendiri
mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai
penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama
dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat
relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era
kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut
kontemporer.
Filsafat Kontemporer juga bisa
diartikan dengan cara seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam
menyangkut kehidupan pada masa saat ini.
Filsafat kontemporer ini sering
dikaitkan dengan posmodernisme, dikarenakan posmodernisme yang berarti “setelah
modern” merupakan akibat logis dari zaman kontemporer. Posmodernisme
menyaratkan kebebasan, dan tidak selalu harus simetris. Contohnya seni bangunan
posmodern tidak terlalu mementingkan aspek keseimbangan dalam bentuk bangunan,
melainkan sesuka hati yang membangun atau yang sesuai request. Kembali lagi
kepada pemikiran kontemporer yang beranjak dari seni bangunan tadi, sama halnya
dengan itu, pemikiran filsafat kontemporer ini bebas. Kebebasan dalam memakai
teori, menanggapi, dan mengkritik selama kebebasan tersebut merupakan suatu hal
original.
Oleh karenanya filsafat kontemporer
merupakan ekstensifikasi dari pemikiran manusia dari hal-hal yang umum menjadi
yang sangat khusus dan terkait dengan hal khusus lainnya.
B.
Aliran Pemikiran Filsafat
Kontemporer Barat.
Pada era “modern”—dilewati bangsa
Barat pasca Immanuel Kant, dua setengah abad yang lalu—bangsa Barat hidup
dengan konsep sistem nilai baru, struktur sosial-budaya pun sama, dengan
sebelumnya pra-syarat Rasional, juga dengan ciri-cirinya yang orisinil. Sejauh
yang terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik, ada beberapa
aliran pemikiran yang dominan yang semarak.
Pertama,tipologi
strukturalisme. Tipologi ini memusatkan perhatiannya pada masyarakat
sebagai sistem, di mana fenomena-fenommena tertentu menggambarkan “suatu
kenyataan sosial yang menyeluruh.”, atau pada landasan epistemologi (canguilhen)
akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat
dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural
fenomena ini, baik ciri differensial atau pun relasional.
Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.
Tipologi ini diwakili oleh Gaston Bachelard, seorang ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teoritisasi tentang imajinasi. Dia adalah tokoh kunci dari generasi strukturalis dan post-srukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor sebuah filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental.
Selanjutnya, bapak psikoanalis,
Sigmund Freud (1856-1939 M.) merupakan sosok yang amat kontroversial dengan
hipotesanya yang amat mengerikan. Khususnya bagi kaum teolog- yang melihat
frued hanya sebagai ateis, materialis.
Selain para pemikir di atas, masih
dapat kita jumpai para pemikir semisal al-Thuser (1918-1990 M.), Pierre
Bourdieu (1930-1982 M.), Jacques Lacan (1901 M.)
Tipologi kedua, Post-Strukturalisme.
Pada fase ini, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai
segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang
bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder.
Ketidakpuasan akan pra-anggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa
(misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya
pemikiran ini.
Tipologi ini diwakili oleh Nietzche
(1844-1900 M.), prinsip yang diusulkan sebagai suatu kebenaran koheren dan
mendasar, beraneka ragam fakta serta penampilannya adalah bersifat idealis.
Selanjutnya adalah Michel Foucault
(1926-1984 M.), seorang sejarawan, psikolog dan sexolog yang paling cemerlang
pada masanya.
Tipologi ketiga, post-marxisme.
Tipologi ini merupakan elaborasi lebih lanjut dari marxisme dengan
karakter dan corak pemikiran yang sangat berbeda.
Mereka menggunakan Marx untuk untuk
mengembangkan sebuah strategi kritik yang sebenarnya di tujukan kepada
‘kapitalisme modern’.
Para filsuf yang mempunyai
kecenderungan berfikir post-Marxisme adalah para pemikir seperti Hannah Arendt,
Jurgen Habermas dan Theodor Adorno.
C.
Aliran Pemikiran Filsafat
Kontemporer Islam.
Filsafat di dunia Islam merupakan
benih pembaharuan, meski hasil asimilasi dari budaya asing. Namun sangat
disayangkan tak pernah bernafas panjang. Di dunia Islam timur, filsafat lenyap
atas jasa Hujjatul Islam al-Imam al-Ghozali, dengan kitabnya Tahafut
al-falasifah. Sedang di dunia Islam barat, matinya filsafat setelah wafatnya
Ibnu Rusyd (1198 M.) berakhir pula pengaruh filssafat paripatetik. Setelah ini,
filsafat secara geografis berpindah ke Negri para Mullah, Iran, sebagai akibat
dari pengaruh metafisika Yunani dan Hindu. Maka kita bisa mengenal Ibn Arabim,
al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul sebagai pendekar filsafat gnostik Persia
ternama. Kemudian Islam mengalami masa skolastik (kegelapan) yang berlangsung
kurang lebih dua abad.
Islam terbangun dengan infasi
Napoleon Bonaparte di Mesir tahun 1798 M, dengan disusul berdirinya negri-negri
independen yang mengatasnamakan Nasionalisme. Sementara dinasti Ottoman sebagai
representasi kekuatan Islam kala itu, telah dilumpuhkan dan digerogoti
luar-dalam. Datangnya Napoleon merupakan titik tolak pembaharuan pemikiran
Arab-Islam.
Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
Kemudian muncullah para pemikir rekonstruktif lain semisal Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Mereka sepakat guna memerangi keterbelakangan dan kolonialisme yang didasari dengan penafsiran-penafsiran rasionalis terhadap ayat-ayat Tuhan.
Gerak radikal pemikiran barat yang
menyematkan Immanuel kant sebagai puncak modernisasi filsafat menorehkan
berbagai macam pertimbangan humanis-rasionalis yang semena-mena tidak boleh
dialienasikan, apalagi dinilai sebagai wujud kolonialisme modern atas dunia
Islam. Feminisme, rasionalisme dan modernisme adalah fakta perjuangan
cendekiawan muslim yang berupaya mengeluarkan khazanah pemikiran Islam dari
stagnansi masa skolastik dimana agama, lapukan sejarah dan literatur keilmuan
telah menjadi Tuhan.
Ideologi yang digambarkan oleh
al-Jabiri atas dunia Arab-Islam masih saja dipahami secara literal dan
melahirkan sikap antipati terhadap perkembangan pemikiran Barat. Angan mitologis
atau mistisisme yang telah menghantui modernisme Islam sudah
selayaknya dihancurlantakkan lalu menaruh sikap inklusif sebagai jembatan
pembaharuan.
D.
Pilar Pilar Filsafat Kontemporer
Filsafat telah melahirkan apresiasi dan respon yang
besar dalam sejarah pemikiran dan memunculkan pilar – pilar Filsafat
Kontemporer.
Pilar yang pertama adalah etika,
di mana merupakan hasil dari refleksi moralitas yang kemudian melahirkan
aliran-aliran filsafat yang dikembangkan oleh para filosof. Dalam memahami
etika sebagai suatu ajaran tentang seni hidup, atau menempatkan sebagai
kebahagiaan ke pusat etika (Aristoteles), dan kemudian pemikiran ini
direligiuskan oleh Thomas Aquinas. Dan Imanuel Kant menjadikan etika yang
semula seni kehidupan menjadi etika kewajiban, dan ini melahirkan konsep
sentral etika modern, yaitu konsep otonomi moral. Pemikiran ini lebih lanjut,
kemudian dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel dan dipadukan dengan
teori dialektikanya.
Pilar yang kedua adalah fenomenologi,
dengan tokoh sentralnya Edmund Hussel (1859-1938) fenomenologi merupakan salah
satu dari arus pemikiran yang paling berpengaruh pada Abad ke-20. Secara umum
fenomenologi lahir dari persoalan fenomena yang dibawa ke ruang publik
--pertama kali-- oleh Hegel dengan ruh absolutnya. Husserl lalu mendefinisikan
fenomenologi sebagai ilmu tentang penampakan (fenomena), dan bagi Husserl
berbicara tentang esensi di luar eksistensi adalah kerja sia-sia, dan hal
inilah yang membedakan fenomenologi Husserl dengan fenomenologinya Hegel dan
Kant. Para filosof yang terpengaruh oleh
fenomenologi adalah Derrida, Kierkegard, Cascirer.
Pilar yang ketiga adalah eksisitensialisme.
Eksistensialisme tidak lagi membahas pertanyaan-pertanyaan esensi dan kodrat,
akan tetapi lebih menekankan masalah seputar eksistensi. Seorang filosof
eksistensialis, semisal Sartre, bekerja keras dalam permasalahan esensi dan
eksistensi, yang kemudian memunculkan sebuah tesis bahwa "eksistensi
mendahului esensi". Dan ini membalik tradisi pemikiran filsafat Barat
sejak Plato, yang selalu mengatakan bahwa esensi mendahului eksistensi.
Pilar yang ke empat adalah filsafat
budaya. Jika dilihat dari sudut pandang filosofis akan melahirkan dimensi
subyektif dan obyektif. Di mana dimensi subyektif adalah daya yang menjadikan
produk (alam) menjadi produk yang lebih baik, sedangkan dimensi obyektif adalah
hasil dari kegiatan daya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar