Jumat, 18 Desember 2015

KONTROVERSI AJARAN SYEKH SITI JENAR

KONTROVERSI AJARAN SYEKH SITI JENAR

Syekh Siti Jenar adalah salah satu penyebar agama Islam di tanah Jawa yang hidup pada masa Kerajaan Demak dipimpin oleh Raden Patah. Kisah tentang Syekh Siti Jenar masih menjadi bahan perdebatan di kalangan kaum putihan dan abangan agama Islam. Kaum putihan (ahlussunnah wal jamaah) cenderung menyalahkan pendirian Syekh Siti Jenar yang telah berani mengaku sebagai Tuhan dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti.

Sementara kaum abangan (kaum kebatinan Jawa) cenderung mendukung dan membela keyakinan Syekh Siti Jenar. Kadangkala keberpihakan mereka dimasukkan secara samar-samar di dalam babad atau serat yang mereka tulis. Namun tak jarang, kaum abangan melakukan perdebatan secara terbuka sehingga dewan ulama yang tergabung dalam Wali Songo seringkali dipojokkan dan dianggap sebagai kambing hitam dalam perkara kematian Syekh Siti Jenar.
 
Sumber tertulis mengenai kisah Syekh Siti Jenar bisa kita baca dalam salah satu Serat Syekh Siti Jenar yang diterjemahkan dari karya Raden Sosrowidjojo, yang diterbitkan oleh keluarga Bratakesawa di Yogyakarta pada tahun 1958. Naskah tersebut berbentuk bait-bait yang diberi nomor berupa karya sastra tembang pupuh, sinom, asmaradana, dandang gula, dan pangkur. Ajaran Syekh Siti Jenar menggabungkan Islam, Hindu dan Budha dalam kehidupan.
Kisah Syekh Siti Jenar dimulai ketika Ki Ageng Kebokenongo dari Pengging akan membangkang dari Kesultanan Bintara Demak. Ki Ageng Kebokenongo mengajak Syekh Siti Jenar dalam pembangkangan tersebut. Keduanya adalah orang yang memiliki keyakinan ajaran Manunggaling Kawulo Gusti atau Tuhan Adalah Saya. Mereka memiliki ratusan murid dan pengikut yang mendukung ajaran Islam yang melenceng tersebut.

Penyelesaian masalah ajaran sesat Syekh Siti Jenar dilakukan oleh anggota Wali Songo dengan jalan damai. Namun cara tersebut belum mampu menyadarkan Syekh Siti Jenar dan Ki Ageng Kebokenongo hingga akhir hayat Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar dianggap sebagai seorang wali yang menyelewengkan ajaran agama Islam. Kisah Syekh Siti Jenar hendaknya menjadi pelajaran bagi generasi muda saat ini untuk menjalankan agama mereka sesuai tuntunan kitab suci.

Filsafat Memikirkan Matematika

Filsafat Memikirkan Matematika

Bidang pengetahuan sebagai perwujudan dari interaksi filsafat dengan matematika yang sangat menarik perhatian filsuf dan ahli matematik disebut dengan berbagai nama, yakni:–  philosophy of mathematics (filsafat matematik)–  foundations of mathematics (landasan matematik)–  metamathematics (adi-matematik)–  Mathematical Philosophy (filsafat kematematikaan). Bidang pengetahuan yang disebut filsafat matematika merupakan hasil Pemikiran filsafati yang sasarannya ialah matematika itu sendiri. Filsafat sebagai rangkaian aktivitas dari budi manusia pada dasarnya adalah pemikiran reflektif (reflective thinking).
Pemikiran relatif atau untuk singkatnya refleksi (reflection) dapat dicirikan sabagai jenis pemikiran yang terdiri atas mempertimbangkan secara cermat suatu pokok soal dalam pikiran dan memberikannya perhatian yang sungguh-sungguh dan terus-menerus (the kind of thinking that consits in turning a subject over in the mind and giving it serious and consecutiveconsideration).
Suatu pendapat lain yang mirip merumuskannya sebagai pertimbangan cermat secara penuh perhatian beberapa kali terhadap hal  yang sama (thinking attentively several times over of the same thing). Dalam sebuah kamus psikologi refective thinking dianggap sepadan dengan logikal thinking (pemikiran logis), yakni aktivitas budi manusia yang diarahkan sesuai dengan kaida-kaida logika.
Dengan demikian filsafat matematika pada dasarnya adalah pemikiran relatif terhadap matematika. Matematika menjadi suatu pokok soal yang dipertimbangkan secara cermat dan dengan penuh perhatian. Pemikiran filsafati juga bersifat reflektif dalam arti menengok diri sendiri untuk memahami bekerjanya budi itu sendiri. Ciri reflektif yang demikian itu ditekankan oleh filsuf Inggris R.G. Collingwood yang menyatakan ”philosophy is reflektive. The philosophizing mind never simply thinks also about any object, thinks also about its own thought about that object.” (filsafat bersifat relektif tidaklah semata-mata berpikir tentang suatu obyek; sambil berpikir tentang sesuatu obyek,budi itu senantiasa berpikir juga tentang pemikirannya sendiri mengenai obyek itu). Jadi budi manusia yang diarahkan untuk menelaah obyek-obyek tertentu sehingga melahirkan matematika kemudian juga memantul berpikir tentang matematika sehingga menumbuhkan filsafat matematik agar memperoleh pemahaman  apa dan bagaimana sesungguhnya matematika itu.
Di antara ahli-ahli matematika dan para filsuf tidak tampak kesatuan pendapat mengenai apa filsafat matematika itu. Sebagai sekedar contoh dapatlah dikutipkan perumusan-perumusan dari 2 buku matematik dan 22 kamus filsafat yang berikut  :
1.      ”A philosophy of mathematics might be described as a viewpoint from  which the various bits and pieces of mathematics can be organized and unifiet by some basic principles.” (suatu filsafat matematik dapatlah dilukiskan sebagai suatu sudut pandang yang dari situ pelbagai bagian dan kepingan   matematik    dapat  disusun dan dipersatukan berdasarkan beberapaasas dasar).
2.      In particular, a philosophy of mathematics essentially amounts to an  attempted reconstruction in which the chaotic mass of  mathematical knowledge accumulated over the ages is given a certain sense or order.”  (Secara khusus suatu filsafat matematika pada dasarnya sama dengan suatu percobaan penyusunan kembali yang dengannya kumpulan pengetahun matematika yang kacau balau yang terhimpun seama berabat-abat diberi suatu makna atau ketertiban tetentu.)
3.      ”The study of the concepts of and justification for the principles used in mathematis.”(Penelaahan tentang konsep dari pembenaran terhadap asas-asas yang dipergunakan dalam matemarik.)
4.      “The study of the concepts and systems appearing in matematics, and of the justification of matematical statements.(Penelaahan tentang konsep-konsep dan sistem-sistem yang terdapat dalam matematika, dan mengenai pembenaran terhadap pernyataan-pernyataan matematika.)
Dua pendapat yang pertama dari ahli-ahli matematika menitikberatkan filsafat matematika sebagai usaha menyusun dan menerbitkan bagian-bagian dari matematika yang selama ini terus berkembangbiak. Sedang dua definisi berikutnya dari ahli filsafat merumuskan filsafat matematika sebagai studi tentang konsep-konsep dalam matematika dan pembenaran terhadap asas atau pernyataan matematika.
Menurut pendapat filsuf Belanda Evert Beth disampingnya matematika sendiri dan filsafat umum harus pula dibedakan adanya 2 bidang pemikiran lainnya, yakni filsafat matematika dalam arti yang lebih luas (philosophy of matematics in a broader sense) dan penelitian mengenai landasan matematik (foundations of matematics).
Landasan matematika kadang-kadang dipersamakan pengertiannya dengan filsafat matematika. Foundations of matematics khususnya bersangkut paut dengan konsep-konsep dan asas-asas fundamental (fundamental concepts and principles) yang dipergunakan dalam matematika. Dengan demikian kedua, definisi philosophy of matematics dari kamus-kamus filsafat tersebutdi atas lebih merupakan batasan dari pengertian landasan matematik.
Dengan adanya perluasan pokok soal dan permasalahan yang ditelaah itu dapatlah dimengerti bilamana foundations of mathematics seolah-olah identik dengan philosophy of mathematics. Tetapi seperti telah dinyatakan di muka landasan matematika sesungguhnya kalah luas dibandingkan dengan filsafat matematika.Seorang ahli matematika menyatakan bahwa perkataan ’foudations’ bilamana dipakai oleh para ahli matematika mengacu pada studi tentang sifat alami yang mendasar dari matematika (studies of the basic nature of mathematics).
Dalam abad 20 ini studi mengenai sifat alami dari matematik menumbuhkan 3 mazhab landasan matematika yang terkenal dengan nama logisisme, formalisme, dan intuitionisme.
1.      Mazhab logisisme
Mazhab logisisme dipelopori oleh filsuf Inggris Bertrand Arthur William Russell. Dalam 1903 terbitlah buku beliau The Principles of Mathematics yang berpegang pada pendapat bahwa matematika murni semata-mata terdiri atas deduksi-deduksi dengan prinsip-prinsip logika dari prinsip-prinsip logika. Dengan demikian matematik dan logika merupakan bidang yang sama karena seluruh konsep dan dalil matematik dapat diturunkan dari logika.
Dari konsep pokok dan prinsip dasar foundationsf mathematics meneruskan penelaahannya sehingga sampai pada sifat alami (nature) dari matematik dan bahkan juga tentang metode matematik, Hal ini ditegaskan dalam Encyclopaedia Britannica sebagai berikut :”The study of the foundations of mathenatics has dealt with the concepts, and the assumptions about those concepts, with which mathematics atarts. Espencially since 1900, foundational investigations have come to include also an inquiry into the nature of mathematical theories and the scope of mathematical methods.” (Penelaahan tentang landasan matematika telah bersangkut paut dengan konsep-konsep dan patokan pikiran-patokan pikiran mengenai konsep-konsep itu yang dengannya matematika bermula. Khususnya setelah 1900 penyelidikan-penyelidikan landasan berlangsng hingga mencakup suatu penyelidikan terhadap sifat alami dari teori-teori matematika dan lingkupan dari metode-metode matematika.)
Dalam sebuah karya tulis lainnya Russell menegaskan hubungan antara matematika dan logika itu sebagai berikut :”But both have developed in moden times : logic has become more mathematical and mathematicshas become more logical. The consequence is that it has now become wholly impossible to drawa line between the two; in fact, the two are one. They differ as boy and man : logic is the youth ofmathematics and mathematics is the manhood oflogic.” (Tetapi kedua-duanya berkembang dalamzaman modern: logika telah menjadi lebih bersifat matematis dan matematika menjadi lebih logis. Akibaynya ialah bahwa kini menjadi sepenuhnya tak mungkin untuk menarik suatu garis di antara keduanya ; sesungguhnya dua hal itu merupakan satu. Mereka berbeda seperti anak dan orang dewasa : logika merupakan masamuda dari matematik dan matematik merupakanmasa dewasa dari logika.)
2.      Mazhab formalime
Mazhab formalisme dipelopori oleh ahli matematika besar dari Jerman David Hilbert. Menurut Mazhab ini sifat alami dari matematika ialah sebagai sifat lambang yang formal. Matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat structural dari simbol-simbol dan poses pengolahan terhadap lambing-lambang itu. Simbol-simbol dianggap mewakili berbagai sasaran yang menjadi obyek matematika. Bilangan-bilangan misalnya dipandang sebagai sifat-sifat structural yang paling sederhanan dari benda-benda. Dengan simbolisme abstrak yang dilepaskan dari sesuatuarti tertentu dan hanya menunjukkan bentuknya saja.
Mazhab formalisme berusaha menyelidiki struktur dari pelbagai sistem. Berdasarkan landasan pemikiran itu seorang pendukung Mazhab tersebut merumuskan matematik sebagai ilmu tentang sistem-sistem formal (Mathematics is the science of formal systems.)
3.      Mazhab intuitionisme
Mazhab intuitionisme adalah mazhab yang berlawanan dengan Mazhab formalisme,  dipelopori oleh ahli matematik Belanda Luitzen Egbertus Jan Brouwer. Beliau berpendirian bahwa matematik adalah sama dengan bagian yang eksak dari memikiran manusia. Ketepatan dalil-dalil matematika terletak dalam akal manusia ( human intellect) dan tidak pada symbol-simbol di atas kertas sebagaimana di yakini oleh mazhab formalisme. Dalam pemikiran mazhab intuitionisme matematik berlandaskan suatu ilham dasar mengenai kemungkinan untuk membangun sebuah seri bilangan yang tak terbatas. Ilham ini pada hekatnya merupakan suatu aktivita berpirir yang tak tergantung pada pengalaman, bebas dari bahasa dan simbolisme, sertabersifat obyektif.

Istilah ’logical foundations’dapat juga di persamakan dengan’philosophical foundations’ (landasan filsafati) seperti misalnya dilakukan oleh filsuf Rudolf Carnap (1891-1970). Dengan landasan logis atau filsafati itu para ahli sesuatu bidang ilmu disadarkan terhadap kemungkinan keterbatasan dan kesalahan dari patokanpikiran-patokanpikiran yang dipergunakannya sebagai pangkal dalam ilmunya.

Jejak Kepahlawanan KH Syam’un



Jejak Kepahlawanan KH Syam’un

Pemerintah provinsi (Pemprov) Banten tidak berkecil hati untuk mengajukan kembali pendiri Al-Khairiyah dan tokoh Banten, Brigjen KH Syam’un menjadi Pahlawan Nasional tahun depan. Mengingat tahun ini pemerintah pusat belum mengabulkan hasrat dan keinginan masyarakat Banten supaya Brigjen KH Syam’un menjadi pahlawan nasional.


Langkah Pemprov Banten harus diapresiasi oleh masyarakat karena telah berupaya keras dan memperjuangkan sungguh-sungguh supaya tokoh Banten seperti Brigjen KH Syam’un bisa menjadi pahlawan nasional. Meski tahun ini belum dikabulkan, mudah-mudahan sebagai langkah yang positif sehingga tahun depan benar-benar dapat diperhatikan dan dikabulkan pemerintah pusat.

Pemprov Banten sebelumnya pernah mengusulkan nama Sultan Ageng Tirtayasa dan Mr. Syarifudin Prawiranegara sebagai Pahlawan Nasional kepada Pemerintah Pusat dan akhirnya disetujui dengan keluarnya Kepres RI Nomor 045/TK/tahun 1970 tanggal 1 Agustus 1970 untuk Sultan Ageng Tirtayasa dan Kepres RI Nomor 113/TK/tahun 2011 tanggal 7 November 2011 untuk Mr. Syarifudin Prawiranegara keduanya sebagai Pahlawan Nasional asal Banten.

Jika telah selesai diusulkan nama Brigjen KH. Syam'un, Pemprov Banten juga segera mengusulkan nama Syekh Nawawi Al-Bantani untuk bisa mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Tentu merupakan kebanggan jika tokoh-tokoh Banten menjadi pahlawan nasional, juga sebagai bahan ceritera yang positif bagi anak-anak, kaum muda dan publik umumnya di Banten, terutama tentang sosok kepahlawanan dan pengabdian Brigjen KH Syam’un dalam dunia pendidikan pesantren. Kisah hidup dan perjuangannya bisa menjadi energi bagi siapapun kita publik Banten untuk menatap masa depan.

Apa yang menyebabkan Brigjen KH Syam’un sehingga masyarakat Banten melalui Pemprov mengusulkannya menjadi pahlawan nasional? Bagaimana sepak terjang dan peranan strategis dalam tokoh pergerakan nasional? Apa bukti kuat dedikasi beliau untuk Indonesia dan masyarakat Banten khususnya?

Nama lengkapnya K.H. Syam’un bin H. Alwiyan, pendiri Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil, Desa Warnasari, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon, Provinsi Banten. Perguruan tersebut didirikan dalam dua tahap, bermula dengan sistem pesantren salafi (Tradisional) dan dikembangkan tahap kedua dengan sistem Madrasah atau pesantren modern.

 Beliau dilahirkan di Beji Bojonegara, Kabupaten Serang, pada 5 April 1894, masih keturunan dari KH. Wasid, tokoh Geger Cilegon (1888) di masa perjuangan melawan pemerintah Kolonial Belanda. Ia diasuh oleh seorang ibu yang berkarakter kuat dan bermental pejuang, Hj. Siti Hajar. Masa kanak-kanak hingga remajanya dihabiskan untuk memperdalam dasar-dasar pelajaran Islam seperti membaca Al-qur’an, tata bahasa Arab dan tata cara ibadah.

Sejak dini, tepatnya pada usia 4 tahun sudah dikirim orang tuanya menimba ilmu agama di Pesantren Delingseng, Cilegon. Selama dua tahun (1898 -1900) Ki Syam’un belajar di bawah asuhan KH. Sa’i. Pesantren Kamasan (1901-1904) di bawah asuhan KH. Jasim menjadi kelanjutannya menuntut ilmu di tanah air.

Selepas itu, pada usia 11 tahun melanjutkan studi ke Mekkah selama lima tahun (1905-1910) bermukim di Mekkah dihabiskannya berguru di Masjidil Haram. Pendidikan akademisnya kemudian ditempa di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dari 1910-1915.
Sepulang studi di timur tengah, mendirikan Pesantren Citangkil (1916), dan sembilan tahun kemudian melakukan modernisasi pendidikan dan mentransformasikan lembaga yang didirikannya menjadi Madrasah Al-khairiyah yang kurikulum dan model pengajarannya ia duplikasi dari Al-Azhar dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal masyarakat Banten.

Ia juga mendirikan Koperasi Boemi Poetra, Organisasi Kebangkitan Pemuda Islam, dan Sekolah ala Belanda (HIS Al-Khairiyah). Dari para alumni terbaik madrasah modern yang didirikannya, ia juga melakukan pengkaderan dengan mengirimkan mereka ke Universitas Al-Azhar dan menanamkan nilai-nilai patriotisme, cinta tanah air, pengorbanan untuk membela kaum yang lemah serta kepedulian terhadap nasib sesama bangsa.

Perkembangan Al-Khairiyah yang pesat di zamannya merupakan sebuah kemajuan yang melesat cepat, sehingga tidak berlebihan jika Al-Khairiyah disebut sebagai Al-Azharnya Asia Tenggara. Terlebih metode pengajaran dan kurikulum yang diajarkan Ki Syam’un di Al-Khairiyah Citangkil sama persis dengan yang dilakukan di Al-Azhar, Kairo, Mesir.

Jejak peninggalan berupa lembaga pendidikan dan pengajaran Al-khairiyah yang memiliki 417 cabang lebih berlokasi di enam provinsi: Banten, Jakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Jambi dan Kalimantan Barat. Perguruan Al-khairiah tidak hanya memberikan khidmat pengajaran kepada masyarakat jenjang pendidikan MI, MTS, MA, tetapi juga SMP, SMEA, SMU, dan SLB.

Bahkan kini di Perguruan Al-khairiyah Pusat telah berdiri dengan gagah dan megah tiga perguruan tinggi sesusai dengan rumpun ilmu yang disebarluaskannya: Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE), Sekolah Ting¬gi Ilmu Komputer (STIKOM). Perkembangan Al-khairiyah dan ratusan cabang-cabangnya tersebut tidak lepas dari dedikasi, loyalitas dan patriotisme ratusan kader Alkhairiyah yang berhasil Brigjen KH Syam’un didik dan kader untuk menjadi generasi penerusnya.

Disamping itu, Korem Maulana Yusuf adalah jejak lainnya dari KH. Syam’un, yang sumbangsihnya dalam membangun Tentara Nasional di Banten, juga patut mendapatkan apresiasi. Karena darma baktinya dan jasa-jasanya yang luar biasa terhadap kemajuan dan kejayaan bangsa pada tahun 2000 Brigjen KH Syam’un mendapatkan anugerah Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI.
Prestasi KH. Syam’un dalam pemerintahan terefleksi dalam fakta bahwa ia pernah diberi amanah untuk menduduki pucuk pimpinan dalam pemerintahan sebagai Bupati Kabupaten Serang). Prestasi dan kemampuannya di bidang militer mengejawantah dalam diberinya KH. Syam’un amanah untuk menjadi Komandan BKR, Panglima TKR, dan Komandan Brigade I/Tirtajasa.


Brigjen KH.Syam’un merupakan pejuang yang memiliki semangat jiwa patriotisme, pantang menyerah dan tanpa pamrih, hal itu bisa menjadi salah satu pelajaran sekaligus panutan generasi muda Banten dan bangsa Indonesia. Melihat jejak, pengabdian, persistensi, dan perjuangan Brigjen KH Syam’un baik dalam bidang pendidikan pesantren maupun kontribusi bagi kemerdekaan, yang warisannya masih eksis dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Banten khususnya, maka sepantasnyalah pemerintah pusat tahun depan dapat mengabulkan cita-cita, rasa serta keinginan masyarakat Banten supaya Brigjen KH Syam’un menjadi pahlawan nasional.*** 

CIRC



Model Pembelajaran  CIRC
(Cooperative Integrated Reading And Composition)

A.    Pengertian model pembelajaran CIRC
CIRC singkatan dari Cooperative Integrated Reading and Compotition, termasuk salah satu model pembelajaran cooperative learning yang pada mulanya merupakan pengajaran kooperatif terpadu membaca dan menulis (Steven dan Slavin dalam Nur, 2000:8) yaitu sebuah program komprehensif atau luas dan lengkap untuk pengajaran membaca dan menulis untuk kelas-kelas tinggi sekolah dasar. Namun, CIRC telah berkembang bukan hanya dipakai pada pelajaran bahasa tetapi juga pelajaran eksak seperti pelajaran matematika.
Pembelajaran CIRC dikembangkan oleh Stevens, Madden, Slavin dan Farnish. Pembelajaran kooperatif tipe CIRC dari segi bahasa dapat diartikan sebagai suatu model pembelajaran kooperatif yang mengintegrasikan suatu bacaan secara menyeluruh kemudian mengkomposisikannya menjadi bagian-bagian yang penting.
jadi CIRC merupakan program yang komprehensif untuk mengajari pembelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa pada kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar.

B.     langkah-langkah model pembelajaran CIRC
penerapan model pembelajaran CIRC untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dapat ditempuh dengan:\

1.      guru  menerangkan suatu pokok bahasan matematika kepada siswa, pada penelitian ini digunakan LKS/buku yang berisi materi yang akan diajarkan pada setiap pertemuan.
2.      guru memberikan latihan soal
3.      guru siap melatih siswa untuk meningkatkan keterampilan siswanya dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah melalui penerapan model CIRC
4.      guru membentuk kelompok-kelompok belajar siswa yang heterogen yang terdiri atas 4 atau 5 siswa.
5.      guru mempersiapkan soal pemecahan masalah dalam bentuk kartu masalah dan membagikannya kepada setiap kelompok
6.      guru memberitahukan agar dalam setiap kelompok terjadi serangkaian kegiatan bersama yang spesifik (kerja sama)
7.      guru mengawasi kerja kelompok, guru bertindak sebagai narasumber atau fasilitator
8.      ketua kelompok melaporkan keberhasilan atau hambatan kelompoknya
9.      ketua kelompok harus dapat menetapkan bahwa setiap anggota telah memahami, dan dapat mengerjakan soal pemecahan masalah yang diberikan.
10.  guru meminta kepada perwakilan kelompok untuk menyajikan temuannya
11.  guru membubarkan kelompok dan siswa kembali ketempat duduknya
12.  guru dan siswa membuat kesimpulan bersama
13.  guru memberikan tugas /PR secara individual
Dari langkah-langkah model pembelajaran CIRC di atas didapatkan fase-fase sebagai berikut:
a.       fase pertama, yaitu orientasi
pada fase ini, guru melakukan apersepsi dan pengetahuan awal siswa tentang materi yang akan diberikan. selain itu juga memaparkan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan kepada siswa.

b.      fase kedua, yaitu organisasi
guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok, dengan memperhatikan keheterogenan akademik. membagikan bahan bacaan tentang materi yang akan dibahas kepada siswa. selain itu menjelaskan mekanisme diskusi kelompok dan tugas yang harus diselesaikan selama proses pembelajaran berlangsung
c.       fase ketiga, yaitu pengenalan konsep
dengan cara mengenalkan tentang suatu konsep baru yang mengacu pada hasil penemuan selama eksplorasi. pengenalan ini bisa didapat dari keterangan guru, buku paket, film, kliping, poster atau media lainnya.

d.      fase keempat, yaitu fase publikasi
siswa mengkomunikasikan hasil temuan-temuannya, membuktikan, memperagakan tentang materi yang dibahas baik dalam kelompok maupun di depan kelas.

e.       fase kelima, yaitu fase penguatan dan refleksi
pada fase ini guru memberikan penguatan berhubungan dengan materi yang dipelajari melalui penjelasan-penjelasan ataupun memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. selanjutnya siswa pun diberi kesempatan untuk merefleksikan dan mengevaluasi hasil pembelajarannya.

C.     keunggulan model pembelajaran CIRC
1.      CIRC amat tepat untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
2.      dominasi guru dalam pembelajaran berkurang
3.      siswa termotivasi pada hasil secara teliti, karena bekerja dalam kelompok.
4.      para siswa dapat memahami makna soal dan saling mengecek pekerjaannya
5.      membant5u siswa yang lemah
6.      meningkatkan hasil belajar khususnya dalam menyelesaikan soal yang berbentuk pemecahan masalah
7.      pengalaman dan kegiatan belajar anak didik akan selalu relevan dengan tingkat perkembangan anak
8.      seluruh kegiatan belajar lebih bermakna bagi anak didik sehingga hasil belajar anak didik akan dapat bertahan lebih lama
9.      membangtkitkan motivasi belajar, memperluas wawasan dan aspirasi guru
10.  peserta didik dapat memberikan tanggapannya secara bebas
11.  dilatih untuk dapat bekerjasama dan menghargai pendapat orang lain
12.  menumbuhkan rasa senang yang merangsang peserta didik untuk aktif dalam kelompok
13.  memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan temannya
14.  membentuk kemurnian ungkapan dalam interaksi dan pemecahan masalah yang kreatif
15.  meningkatkan kualitas gagasan

D.    kelemahan model pembelajaran CIRC
1.      pada saat presentasi hanya peserta didik yang aktif yang Tanya
2.      banyak memboroskan waktu
3.      persiapan yang perlu dilakukan guru yang dalam menggunakan model pembelajaran CIRC cukup rumit
4.      pengelolaan kelas dan pengorganisasian peserta didik lebih sulit